Minggu, 20 Agustus 2017

Mencandu Bayu di Candi Brahu

Agustus 20, 2017 0 Comments
Akhirnya, siang tadi saya kesampaian mengunjungi Candi Brahu, setelah beberapa kali gagal karena kesibukan. Kunjungan ini sekaligus napak tilas setelah lebih dari 25 tahun yang lalu pertama kali saya kunjungi, yaitu semasa masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah. Jika dulu saya mendapati kerusakan pada beberapa bagian candi, kini tidak lagi. Beberapa tahun setelah kunjungan saya, yaitu tahun 1990, dilakukan pemugaran candi dan selesai lima tahun kemudian.

Candi Brahu adalah salah satu candi yang terletak di kawasan situs arkeologi Trowulan. Trowulan adalah ibukota Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Raja Jayanegara. Di Trowulan dan sekitarnya, banyak ditemukan benda-benda purbakala, seperti arca-arca, peralatan untuk upacara keagamaan yang terbuat dari logam, gerabah dari tanah liat, perhiasan emas serta uang koin emas.


Semua peninggalan tersebut adalah jejak-jejak kemegahan Kerajaan Majapahit. Terkenal dengan Mahapatihnya yang bernama Gajah Mada, Majapahit bahkan pernah menguasai hampir seluruh wilayah Nusantara. Kerajaan yang mengalami masa kejayaan pada masa kepemimpinan Raja Hayam Wuruk ini juga meninggalkan candi-candi lain di sekitar Candi Brahu. Di antaranya adalah Candi Gentong, Candi Bajang Ratu, Candi Tikus, Candi Muteran, Candi Wringin Lawang dan lain-lain. Tidak semua candi dalam keadaan utuh, sebagian ditemukan hanya berupa reruntuhan.

Dengan mengajak dua anak, saya tiba di lokasi sekitar pukul 11 siang, setelah berkendara dengan motor sekitar 20 menit dari tempat tinggal saya di pusat Kota Mojokerto. Cuaca saat itu cukup terik, tapi suasana di sekitar candi justru sangat nyaman karena limpahan semilir angin. Candi Brahu memang berlokasi di tengah areal persawahan tebu. Pohon-pohon rindang yang ditanam di sekitar candi sangat membantu membuat suasana teduh di sekeliling. Di bawah pepohonan yang rindang, tersedia bangku-bangku untuk para pengunjung berisitrahat sambil memandang candi. Beberapa pengunjung saya lihat menggelar tikar sambil makan siang bersama.

Perjalanan yang terbilang singkat membuat semangat saya masih penuh untuk berkeliling. Memasuki area candi, kami disambut dengan pemandangan sepasang kekasih yang sedang melakukan foto pra-nikah. Saya baru tahu, bagus juga tempat ini untuk membuat foto pra-nikah. Sambil berfoto, bisa membayangkan diri menjadi sepasang raja dan ratu.

Candi Brahu yang merupakan candi dengan kultur Budha ini dibangun dengan batu bata merah. Ukurannya lebih besar daripada batu bata yang kita kenal sekarang. Candi menghadap ke barat dengan panjang sekitar 22,5 m, lebar 18 m dan tinggi 20 m.

Pada sisi barat, di bagian utama tubuh candi, terdapat lubang atau ruang yang menjorok ke dalam. Ruang tersebut diduga merupakan tempat untuk mengkremasi atau membakar jenazah raja-raja, sesuai dengan prasasti yang ditulis oleh Mpu Sendok pada tahun 939 Masehi atau 861 Saka. Tetapi, setelah diadakan penelitian, para pakar menyatakan tidak menemukan sisa-sisa bekas abu mayat di dalam ruang tersebut.


Untuk melestarikan budaya Majapahit, menurut Pak Mustaman, seorang juru parkir yang sempat saya ajak ngobrol, setiap tahun digelar acara ruwatan agung di Candi Brahu. Acara tersebut dikenal dengan nama Grebeg Suro dan diselenggarakan setiap Bulan Suro menurut Kalender Saka.

Acara diawali dengan ziarah ke makam para leluhur, lalu diadakan pentas seni dan bazar makanan rakyat. Selain itu juga ada pawai dengan kostum Majapahitan. Wah, jika ada kesempatan, ingin sekali saya melihat acara ini. Saya ingin menyaksikan secara langsung kemegahan dan keanggunan kostum raja dan ratu Majapahit, walau mungkin sudah ada modifikasi di sana sini. Acara yang dimaksudkan untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan ini akan ditutup dengan gelaran wayang kulit semalam suntuk.

Masih dalam rangka melestarikan dan menghidupkan kembali budaya Majapahit, Desa Bejijong, tempat Candi Brahu berlokasi, sejak sekitar dua tahun yang lalu ‘disulap’ menjadi Kampung Majapahit. Selain Bejijong, dua desa lagi di sekitarnya juga turut ‘disulap’. Pembangunan kampung ini diinisisasi oleh Gubernur Jawa Timur yaitu Bapak Soekarwo atau yang lebih dikenal dengan nama Pak De Karwo. Tujuannya untuk mengembangkan potensi wisata purbakala yang cukup besar di Mojokerto.


Kampung Majapahit merupakan deretan hunian penduduk dengan arsitektur bergaya Majapahit. Walaupun yang dibangun hanya bagian depan rumah, namun keseragaman bentuk dan warna bangunan serta pagar menjadi keunikan tersendiri. Nuansa khas Majapahit sangat terasa dan membangkitkan imajinasi kita akan keunikan dan kebersahajaan kehidupan masyarakat Majapahit di masa lampau. Candi Brahu dan Kampung Majapahit saling mendukung untuk menjadi daya Tarik wisata yang lebih kuat.

Nah, bagi para pengunjung, tak usah khawatir bila berkunjung ke Candi Brahu tanpa membawa bekal. Karena di pinggir jalan menuju lokasi candi, berderet warung-warung yang menjual makanan dan minuman ringan. Tempat parkir kendaraan pun cukup, tarifnya murah dan para petugas parkirnya juga ramah dan sangat membantu.

Bahagia sekali saya bisa mengunjungi tempat ini. Tanpa tiket masuk, hanya dengan sumbangan seikhlasnya, saya bisa mengelilingi candi dan menikmati suasana santai dan tenteram di sekitarnya. Untuk memaksimalkan waktu, saya juga bisa berkunjung ke candi-candi lain di sekitar, Kolam Segaran, Museum Purbakala, Pendopo Agung serta beberapa lokasi wisata purbakala lainnya. Semua itu bisa ditempuh dengan beberapa menit saja. Saya juga bisa memperlihatkan pada putri saya tentang bukti sisa-sisa peninggalan Kerajaan Majapahit yang megah. Semoga kunjungan ini bisa menumbuhkan rasa bangga pada putri saya akan kekayaan negerinya. Kedepannya, saya juga berharap agar situs Trowulan tetap lestari, khususnya Candi Brahu ini.

Tulisan ini diikutsertakan dalam event "#WisataNusantaraKomunitasEmakPintar"

Follow Us @soratemplates