Rabu, 24 Juli 2013

Cahaya di Ujung Pena

Juli 24, 2013 0 Comments

Ada masa
Tatkala Hawa seolah tiada
Bicara tanpa kata
Menulis tanpa aksara

Belenggu budaya
Penjarakan jiwa mereka
Sang penguasa selalu berkata
Kau di belakang saja!

Ada cahaya
Yang terusik nuraninya
Tak rela bila sesamanya
Menerima semata

Tanpa suara atau desing senjata
Hanya dengan goresan pena
Diatas kertas merangkai kata
Ia ubah dunianya

Terima kasih Bunda
Tarian jemarimu memutus belengguku
Cita luhurmu terangkan duniaku
Ku pastikan, tak kan reda karyaku

Satelit Ramadan

Juli 24, 2013 0 Comments
Menjelang Ramadan saya selalu ingat kampung halaman. Tentang kebiasaan unik di dusun kecil kami, dan tentang indahnya masa kecil saya. Ramadan adalah bulan istimewa, maka kami menyambutnya dengan suka cita.

Sehari sebelum Ramadan, para wanita biasanya sibuk membersihkan rumah secara besar-besaran. Bisa dibilang hari itu kami ‘cuci gudang’. Segala sesuatu yang biasanya luput dari perhatian, mendadak menjadi sangat penting untuk dikerjakan. Mulai dari mencuci peralatan masak yang jarang dipakai, mencuci gordyn, melap kaki-kaki kursi, hingga merapikan tanaman di sekeliling rumah. Kata ibu, agar saat puasa kita hemat tenaga dan lebih banyak waktu untuk beribadah.

Para lelaki tak mau kalah. Mereka bekerja bakti membersihkan lingkungan. Dan yang paling penting menyiapkan musala dan masjid untuk tarawih, karena jamaah yang datang pasti lebih banyak daripada hari biasa. Bila perlu mereka memboyong karpet atau tikar dari rumah masing-masing untuk diletakkan di masjid, agar siap pakai saat dibutuhkan.

Sore hari, bedug dan kentongan di masjid mulai dibunyikan dengan irama yang khas. Ini pertanda bahwa besok adalah hari pertama puasa. Kami berkumpul di sekitar masjid untuk menikmati ritual tersebut. Bunyi bedug yang bertalu-talu sungguh meriuh rendahkan hati kami. Sebelum ke masjid kami sudah mandi dan keramas. Bila tidak, jangan harap telinga kami lolos dari jeweran ortu, hehe… Ritual ini berhenti saat tiba salat asar.

Malam saat tarawih, masjid biasanya penuh dengan para santri, jadi saya lebih suka tarawih di musala dekat rumah. Tapi bapak sering mengajak saya dan kakak tarawih ke musala yang agak jauh yang mana imamnya sering membaca surat-surat panjang. Terkadang saya sampai terkantuk-kantuk dalam posisi berdiri, dan terbangun kaget karena colekan kakak atau saat mendengar makmum serentak mengucap ‘Amin…’, hihi…

Paling berkesan dan tak akan terlupakan adalah saat sahur. Sekitar dua jam sebelum imsak, imam masjid atau sesepuh mulai membangunkan warga melalui pengeras suara. Mendekati waktu imsak, suara ‘sahur-sahur…’ akan makin sering terdengar. Puncaknya adalah sepuluh detik sebelum imsak, hitungan mundurpun dimulai. Mirip saat-saat menegangkan pada peluncuran sebuah satelit. “Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua, satu. Imsak…, imsak…, imsak…” Pada saat yang sama, bedug ditabuh bertalu-talu. Kami pun melesat bagai satelit, menuju bulan penuh ampunan.

Begitulah suasana Ramadan di kampungku, yang selalu ku rindukan hingga kini.


Selasa, 16 Juli 2013

Jangan Mudah Berprasangka Buruk

Juli 16, 2013 2 Comments
Pagi tadi, untuk kesekian kalinya, seorang asisten rumah tangga alias ART datang ke toko kecil saya untuk membeli pulsa. Setelah membayar sesuai harga, dia pun pulang. Saya segera mengisi pulsa ke nomor yang diberikannya lalu beberapa detik kemudian menerima notifikasi bahwa pulsa sudak terkirim ke nomor tersebut.

Tak lama berselang, si ART datang lagi.

"Bu, kata Eyang pulsanya belum masuk." Ujar si ART. Eyang adalah ortu sang majikan, yang menyuruhnya membeli pulsa.

"Tapi udah saya kirim tuh, Mbak, dan udah masuk." Kata saya, "Sudah dicek kah?"

"Kata Eyang sih sudah." Jawab si ART.

"Baik, tunggu sebentar, saya komplainkan ke agen ya, Mbak."

Saya pun segera mengirim SMS komplain ke agen, tapi mendapat jawaban sesuai notifikasi tadi, bahwa pulsa sudah berhasil terkirim. Tak ingin membuang waktu si ART, saya pun segera mengembalikan uang pembayaran yang telah diberikannya tadi.

"Mbak, saya sudah komplain, dan dapat jawaban bahwa pulsanya sudah terkirim. Tapi ini saya kembalikan uangnya. Tolong nanti dicek lagi ya, jika pulsanya memang belum masuk ya sudah, nggak apa-apa. Tapi kalo ternyata pulsanya sudah masuk, tolong Mbak bayar lagi kesini, ya?" Ucap saya sambil mengangsurkan uang kepadanya.

Si ART mengiyakan, dan dia pun kembali pulang.

Yang seperti ini cukup sering terjadi dan beberapa kali disaksikan oleh anak-anak saya. Awalnya mereka kurang puas melihat sikap yang diambil ibunya, karena mereka jelas membaca notifikasi yang masuk ke ponsel saya.

Tapi saya katakan, biarlah. Seandainya pulsa sudah masuk dan si pembeli berbohong, itu urusan dia. Tapi bila benar pulsanya belum masuk, setidaknya kita tidak merugikan pembeli. Terutama bila pembelinya 'orang kecil' seperti ART atau pekerja bangunan. Sungguh tak tega bila mereka yang harus kehilangan, mengingat beberapa ribu rupiah tentu sangat berharga bagi mereka. Jika ada pihak yang harus menanggung rugi, birlah kita saja.

Tak perlu khawatir akan kejujurannya. Lebih penting memelihara prasangka baik kita. Mereka yang berpenampilan sederhana belum tentu tidak bisa dipercaya. Yakinlah, segala yang sudah seharusnya menjadi hak kita, InsyaAllah akan tetap kembali pada kita. Kita hanya berusaha agar jangan sampai ada hak orang lain yang terbawa oleh kita secara sengaja, saat kita benar-benar sadar. Begitu yang saya katakan pada anak-anak.

Alhamdulillah, anak-anak cepat mengerti. Beruntungnya, selama ini kami lebih sering bertemu orang-orang yang baik dan jujur. Seperti pagi tadi, baru saja saya akan mulai mengerjakan hal yang lain, tiba-tiba si Mbak ART datang lagi.

"Bu, pulsanya udah masuk. Ini uangnya saya kembalikan lagi. Makasih ya, Bu..." Ujarnya sambil tersenyum lega.

Tuh kan......

Follow Us @soratemplates