Jumat, 26 Januari 2018

# Inspirasi

Hidangan Pertama untuk (Calon) Suami


Dulu, saya enggak begitu suka memasak. Tapi semenjak merantau ke ibukota propinsi dan hidup sebagai anak kos, mulailah saya belajar turun ke dapur. Habis gimana lagi, kalo makan beli di warung terus, bisa bangkrut kan? Hehe… Apalagi saya hanyalah karyawati junior dengan gaji yang tak seberapa.

Karena dulu saat di rumah saya juga jarang membantu Emak di dapur, otomatis kamus perbumbudapuran saya minim. Dan itu berbanding lurus dengan kemampuan saya dalam hal menyulap bahan makanan mentah menjadi layak makan.

Tak disangka, suatu ketika seorang karyawan dari kantor pusat perusahaan tempat saya bekerja, ditugaskan ke proyek yang dibawahi kantor cabang, tempat saya bekerja. Singkat kata, setelah berkenalan, doi pedekate. Dan kami sepakat untuk menjalani hubungan yang lebih serius. Tak butuh waktu lama untuk saya naik pangkat menjadi calon istri sang karyawan.

Hal itu membuat saya galau dan mulai memikirkan cara meningkatkan skill saya dalam bidang masak memasak. Sesuai nasehat orang tua jaman dulu, bahwa tresna jalaran saka madaran kan? Hehe… Artinya, rasa cinta bisa ditumbuhkan dari sejahteranya perut. Dimasakin gitu.

Mulailah saya suka mengumpulkan resep masakan dari tabloid atau majalah. Jika ada waktu, resep masakan yang bahannya murah dan mudah didapat serta mudah cara memasaknya, akan saya eksekusi.

Sayangnya, keterbatasan waktu membuat saya kadang berkesperimen di saat yang tidak tepat. Seperti yang terjadi pada suatu pagi.

Hari itu jadwal saya harus mengunjungi proyek yang berlokasi di luar kota. Otomatis saya akan bertemu dengan calon suami saya yang memang lokasi kerjanya di proyek tersebut.

Sebagai calon istri yang baik, pingin dong sesekali mencoba membawakan bekal buat dimakan berdua. Masak minta ditraktir terus. Malu, hehe… Saya mah gitu orangnya. *tutup muka

Pagi-pagi saya segera berbelanja sayur. Rencananya saya mau bikin sayur bening bayam dengan bakwan jagung sebagai lauk. Simpel banget kan?

Usai belanja, jagung segera saya kupas, cuci, serut, lalu diuleg bersama dengan bumbu-bumbunya. Sambil menguleg, saya merebus air untuk membuat sayur bayam. Tak lupa bayam yang sudah saya cuci dan potong-potong, langsung saya masukkan panci. Biar empuk, pikir saya. Sumpah! Saya nggak tahu kalau bayam itu cepet lembek, haha…

Kekeliruan besar itu saya ketahui saat ibu kos saya yang sudah seperti ibu saya sendiri, iseng membuka tutup panci dan terkejut melihat isinya.

Saya ingat betul kalimat beliau saat itu, “Hei, Jeng. Mau bikin sayur apa ini? Kalaupun sayur bening, nggak satu sungai gini airnya. Trus bayamnya, kok sampe gelap mateng banget gini? Ini nggak layak dimakan, buang saja.”

Saya melongo, antara malu, terkejut dan panik. (Duuh, di paragraf ini saya ngakak dulu ya. :D) Jarum jam kian bergeser ke kanan. Saya harus segera mandi dan bersiap-siap berangkat ke kantor agar tidak terlambat.

Ibu kos membaca kebingungan saya. Segera beliau meminta saya membeli bayam lagi sementara beliau akan membantu menggoreng si bakwan jagung. Saya nggak membantah.

Pulang dari warung sayur, bakwan jagung sudah matang. Si bayam, langsung diminta ibu kos untuk beliau tangani. Dan saya, mandi dong.
Usai berdandan, saya tinggal menenteng tas kerja berikut rantang yang sudah terisi bekal. Menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam, akhirnya saya tiba di kantor proyek.

Rantang saya letakkan di atas meja kerja. Dan saat Si Mas bertanya mau pesan apa untuk makan siang, dengan pedenya saya jawab, “Aku nggak pesan. Mas juga nggak usah. Kali ini kita makan bekal yang kubawa ya?.”

Si Mas terlihat bahagia.

Waktu makan siang pun tiba. Si Mas masuk ke ruanganku. Sang manajer yang biasa makan bersama kami, memilih membiarkan kami makan berdua di ruangan saya. Sementara rekan-rekan yang lain, berdeham –dehem menggoda kami.

Saya pun segera membuka rantang. Hmm… Daun bayam yang dimasak bening itu tampak segar menggoda. Kontras dengan layunya warna sayur bayam yang tadi disuruh buang oleh ibu kos. Aroma temu kunci yang berpadu dengan wanginya daun kemangi, segera berebut masuk rongga hidung kami. Begitu pula aroma bakwan jagung yang juga ditambahi temu kunci sebagai bumbu di dalam adonannnya. Tak kalah menggoda.

Si Mas melihat makanan yang terhidang di meja dengan takjub, apalagi saya. “Wah, ternyata Adik pintar masak, ya?” Pujinya pada saya.
Saya pun tersenyum, tapi tak mengiyakan.

Sambil makan dengan lahap, Si Mas bercerita, bahwa dia dulu nggak doyan sayur bening bayam. Tapi katanya masakan saya beda, aromanya wangi dan rasanya pun sangat enak. Sedangkan bakwan jagung, itu adalah favoritnya. Kelak kalau kami sudah menikah, dia nggak keberatan dimasakin seperti itu sering-sering.

Selama makan, Si Mas terlihat sangat bahagia. Sebaliknya, saya jadi bingung dan tak enak hati. Haruskah saya mengatakan yang sebenarnya? Tapi kan malu. Karena dia sudah memuji saya sedemikian rupa. Tapi jika tidak saya katakan, hati ini kok nggak sreg. Seperti menipu, walaupun enggak.

Akhirnya saya mengambil keputusan. Sambil membereskan rantang kosong, saya bertanya, “Mm, makanannya enak?”

“Iya, enak banget. Makasih ya.” Jawab Si Mas sambil masih tersenyum,”Mas bener-bener nggak nyangka, Adik bisa masak.”

“Mmm, anu. Sebenernya itu tadi bukan aku yang masak, tapi ibu kos.”

“Ha? Oh? Begitu? Ya, nggak papa sih. Nggak papa, Dik. Serius.” Si Mas merespon pengakuan saya sambil tergagap dan menahan senyum.

“Jadi, yang tadi Mas bilang pinter masak dan masakannya enak, itu bukan aku. Tapi ibu kos. Ibu kos yang harusnya Mas puji. Kalau aku, aku nggak bisa masak.”

Entah bagaimana wajah saya saat itu. Tapi saya lega dengan kejujuran saya. Kemudian saya katakan pada Si Mas tentang kekurangan-kekurangan saya yang lain. Dan Alhamdulillah, Si Mas nggak keberatan, hehe… Kini, kami telah melewati 18 tahun hidup bersama. *Alhamdulillah lagi. :D

Ada dua hikmah yang saya dapat dari kejadian konyol ini. Yang pertama, jujurlah dalam setiap kesempatan. Karena dengan jujur, pikiran akan tenang. Tak apa tak mendapat pujian dari orang yang kita harapkan, tapi setidaknya kita tak perlu menipu diri dengan terus berpura-pura hebat. Toh, belum tentu si dia nggak menerima. Bukankah ada pepatah, tak kan lari gunung dikejar. Tak kan datang jodoh bila pesona tak ditebar. Eeh, nggak nyambung, hehe…

Hikmah yang kedua, jangan mudah putus asa dalam meraih impian. Teruslah bersemangat dalam berusaha. Ingin bisa memasak, teruslah belajar memasak. Walaupun tak jadi chef di restoran bertaraf internasional, setidaknya kau jadi chef di dapurmu sendiri. Sekarang saya sudah punya menu andalan loh.Rawon salah satunya, hehe...

Pun demikian bila ingin jadi penulis. Teruslah berlatih merangkai kata. Jikapun tak menjadi pujangga, setidaknya goresan penamu memberi makna pada hidup sesama. Eaa…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates